Menikmati Macet

Sepekan setelah Lebaran. Manusia-manusia kota telah kembali setelah sesaat menikmati kenangan masa kecil, bersilaturahim dengan orang tua dan sanak kerabat di kampung mereka masing-masing. Kembali berjibaku dengan kehidupan Jakarta yang menuntut perjuangan ekstra keras untuk mengais rejeki demi kehidupan mereka. Menjadi manusia kota seutuhnya yang tidak mengenal istilah santai selain kerja keras.

Sunyi selama hari raya belakangan ini pun segera berlalu. Lancar lalu lintas lekas menghilang. Segar dan bersih udara kota pun raib dirangkul polusi dari kendaraan bermotor. Kembali pada rutinitas kota yang penuh dengan hiruk pikuk yang nyaris tak kenal waktu. Menikmati macet.

Macet bukanlah barang yang aneh di kota besar semacam Jakarta. Bahkan, akan terasa aneh jika ibu kota ini tidak macet. Mungkin hanya ketika Hari Raya Idul Fitri saja kota ini tidaklah macet. Oleh karenanya, wajar jika ada seseorang yang berguyon “Mungkin Mudik perlu dijadikan program bulanan Pemda DKI Jakarta selain car free day untuk mengatasi polusi juga kemacetan di kota ini.”

Ya, kita hanya akan tersenyum dengan canda semacam itu. Senyum yang sangat miris karena hingga detik ini kita masih belum bisa mengatasi masalah kemacetan tersebut. Sebaliknya, masalah tersebut kian parah dan hampir ada di setiap titik lalu lintas di Ibu Kota Indonesia ini. Jika bertanya apa penyebab macet, maka akan ada banyak jawaban untuk pertanyaan tersebut. Mulai dari banyaknya kendaraan pribadi, sistem lalu lintas yang kurang baik, jalanan yang sempit, tata kota yang tidak baik, hingga pemerintah yang kurang tegas. Namun, semuanya bermuara pada ketidakcakapan pemerintah dalam mengatur lalu lintas beserta hal-hal yang terkait dan masyarakat yang tidak mempunyai rasa memiliki kota ini, sehingga tidak bertanggung jawab dan tidak perduli dengan kebijakan dan peraturan yang dibuat untuk mengatasi kemacetan tersebut.

Lalu bagaimana pemecahannya. Ini mungkin pertanyaan yang paling membosankan bagi masyarakat di Jakarta yang sudah kandung terbiasa dengan kemacetan. Sebagus apapun sistem yang dibuat untuk mengatasi kemacetan, jika pemerintah tidak tegas dan masih membuat kebijakan yang kontraproduktif terhadap kebijakan sebelumnya dan masyarakatnya masih acuh dengan peraturan tentu tidak akan bisa mengatasi masalah tersebut. Dan kita akan semakin terbiasa dengan kemacetan.

Jadi, sebenarnya bukan hanya di jalan saja terjadi kemacetan. Dalam sistem pemerintahan pun terjadi kemacetan karena kurang tegas dan kebijakan yang kontraproduktif. Misalnya, pemerintah membuat kebijakan tree in one untuk mengatasi kemacetan, tapi di sisi lain mereka mengeluarkan kebijakan mobil murah. Bukankah ini hal yang aneh.

Yang kami takutkan, jika kita juga mengalami kemacetan budaya karena ketidakperdulian kita terhadap permasalahan di ibu kota ini. Sehingga, kita terbiasa menjadi manusia yang tidak perduli, sedang perlahan-lahan kita kehilangan identitas budaya kita sendiri. Semoga kita belum terlambat. Dan tidak sampai mengalami kemacetan budaya (Redaksi).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>