Jakarta dan Pendatang

pendatang, mudik, arus balik, urbanisasi, ke jakarta aku kan kembali, pendatang jakarta, arus urbanisasi jakarta,Jakarta Terik memayungi kota. Terminal Kampung Rambutan ramai oleh manusia yang baru saja kembali dari kampung halaman mereka seusai merayakan Idul Fitri. Sedang aku baru saja selesai membaca berita tentang pendatang yang menyerbu Jakarta di sebuah media online melalui blackberryku ketika seorang pria menghampiriku. Memang, selain macet pendatang yang membanjiri ibu kota pasca Lebaran sering membuat Pemda DKI Jakarta pusing. Mungkin termasuk orang yang baru turun dari bus dan sedang di hadapanku ini.

Lelah masih menempel di parasnya. Perjalanan panjang dan kemacetan panjang arus balik pasti telah membuatnya letih. “Maaf Mas, aku boleh tanya?” kata lelaki berkemeja putih yang menenteng tas besar tersebut.

“Boleh. Mau tanya apa?” jawabku ramah.

“Kalau mau ke alamat ini bagaimana?” tanyanya seraya memberikan secarik kertas kecil yang sudah lusuh. Tertera sebuah alamat yang ditulis tangan.

“Oh, Setiabudi toh,” seruku. “Mudah Mas. Nanti mas naik saja bus yang melewati Jalan Raya Sudirman dan bilang sama kondekturnya minta diturunkan di Halte Setiabudi. Nah, sampai di sana Mas bisa tanya sama orang-orang di sana alamat ini di mana.”

Sepertinya dia baru sekali ini ke Jakarta. Jangan-jangan benar perkiraan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Purba Hutapea, yang aku baca di Vivanews tadi. Menurutnya Lebaran tahun ini pertambahan penduduk di Jakarta bisa mencapai lima puluh ribu orang. Ini tentu mengkhawatirkan sebab jumlah penduduk Jakarta saat ini saja sudah mencapai sembilan juta jiwa. Bisa saja salah satunya pria ini. “Oh ya, Mas baru ya ke Jakarta?” tanyaku.

“Iya. Aku mau ke tempat Pakdeku yang jualan bakso di sebuah pasar dekat Setiabudi ini.”

“Mau lebaran ke tempat pamanmu rupanya.”

“Iya Mas. Sekalian bantu-bantu Pakde jualan bakso.”

Hemz. Nambah satu lagi penduduk ibu kota ini. Ternyata himbauan Pemerintah DKI Jakarta agar masyarakat yang kembali ke Jakarta tidak membawa teman atau keluarganya tidaklah digubris mereka. Bukankah lebih baik mereka membangun desa mereka ketimbang berdesak-desakan di kota. Seandainya mereka memiliki keahlian sekali pun, alangkah lebih baik jika keahlian mereka digunakan untuk pembangunan di daerah kelahiran meraka. Sementara, kebanyakan pendatang itu adalah mereka yang tidak mempunya keahlian khusus. Datang ke kota ini hanya untuk mencari peruntungan semata.

“Oh, jadi Mas mau cari peruntungan di kota juga ya?”

“Iya. Aku bosan tani di kampung. Ingin coba usaha di Jakarta. Kali aja aku beruntung seperti Pakdeku yang bisa beli rumah dan tanah di kampung. Padahal dia hanya jualan bakso.”

“Oh iya. Aslinya dari mana Mas?”

“Solo.”

Ternyata pemerintah di daerah-daerah juga gagal dalam membangun desa mereka dan membuka peluang kerja untuk masyarakatnya. Sehingga Jakarta tetap menjadi sebuah impian bagi para pendatang untuk mencari rezeki.  Pria bernama Arif yang berasal dari Solo ini salah satunya. Semoga saja dia bisa mendapatkan mimpinya. Tidak tertipu dengan surga semu ibu kota dan terjebak ke neraka kriminalitas di Jakarta yang disebabkan oleh susahnya mencari peruntungan. (Dhankoe)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>