Cerita Lisan Si Entong dan Orang Betawi yang ‘Dipandirkan’ di Televisi
Muhammad Hamdan*
Preambul
Banyak tradisi lisan kita kini sudah mulai tidak dikenal lagi oleh masyarakat. Padahal bentuk ini — dipandang secara antropologis — dibentuk oleh tradisi masyarakat. Salah satunya adalah sastra lisan. Sastra lisan adalah sastra yang muncul dalam bentuk lisan atau menurut Francis Le yang dikutip oleh Dandes (1965:9) sastra lisan disebut literature transmitted orally atau unwritten literature yang lebih dikenal dengan istilah folklore. Foklor adalah kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja,secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk tulisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1997:2).
Sastra lisan merupakan warisan budaya yang masih mempunyai nilai-nilai yang layak dikembangkan dan dimanfaat untuk kehidupan kini dan masa mendatang. Sudah sejak lama sastra lisan telah berperan sebagai sarana untuk pehaman nilai-nilai luhur yang tumbuh di masyarakat. Akan tetapi, belakangan ini fungsi tersebut tergeser oleh kemajuan teknolgi informasi, sistem budaya, sosial dan politik yang kini berkembang. Hal ini tentu akan mengakibatkan lunturnya kearifan lokal bangsa kita. Bahkan bisa menyebabkan genersasi muda kita kehilangan identitas budaya mereka, jika tidak dapat mengembangkan dan melestarikannya. Salah satu bentuk sastra lisan atau folklor yang cukup menarik dan hampir terlupakan adalah cerita-cerita ‘pandir’.
Cerita pandir atau masyarakat lebih mengenalnya dengan cerita jenaka ini banyak terdapat di dalam budaya kita, seperti Si Kabayan, Lebai nan Malang, Si Pandir, Si Akhok dan lain-lain. Jenis cerita semacam ini berfungsi sebagai hiburan dan alat ‘pelarian’ atau ‘escapism’. Apabila mendengar cerita jenaka, kita sebenarnya sedang berupaya memberi ketenangan pikiran dan merehatkan setelah penat seharian bekerja.
Cerita pandir umumnya berkisah tentang tokoh yang benar-benar bodoh, berpura-pura bodoh atau dianggap bodoh oleh lingkungannya. Kelucuan cerita seperti ini biasanya karena perbuatan yang tidak masuk akal atau kelakuan dari tokoh pandir tersebut. Kata-kata ataupun perilaku tokoh tersebut umumnya lucu, tidak masuk akal, dan kurang ajar, tetapi sebenarnya mengandung banyak nilai-nilai luhur.
Dalam tulisan ini saya ingin membahas tentang dua cerita lisan Betawi dan berkembang di masyarakat yang ditulis kembali oleh Yahya Andi Saputra berdasarkan penilitian lapangannya, yaitu cerita Si Entong. Saya hanya ingin mengetahui nila-nilai kebetawian seperti apa yang terkandung dalam kedua cerita tersebut dan apakah memiliki pengaruh pada masyarakat saat ini.
Nilai Kebudayaan
Sejatinya sebuah cerita memiliki nilai-nilai tertentu pada kebudayaan suatu masyarakat sebagai proses pembentukan identitas suatu bangsa. Nilai-nilai budaya dalam suatu cerita rakyat tidak hanya terlihat pada permukaannya saja, tetapi amat esensial dalam kebudayaan tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Prijanto (2000:106), muatan budaya daerah ini sudah menyentuh pada hal-hal yang esensial. Nilai budaya yang diungkap dalam sebuah cerita lisan tidak hanya sebatas pada unsur bahasa, tetapi juga mengenai adat istiadat, lingkungan hidup, dan cara berpikir masyarakatnya.
Menurut Williams (dalam Barker, 2005: 55), kebudayaan adalah pengalaman dalam hidup sehari-hari: berbagai teks, praktik dan makna semua orang dalam menjalani hidup mereka. Makna kebudayaan haruslah dipelajari dalam konteks kondisi-kondisi produksinya, sehingga menggambarkan tentang kebudayaan sebagai suatu ‘keseluruhan cara hidup’. Lebih lanjut, Williams (dalam Barker, 2005:53) menganggap kebudayaan sebagai makna dan nilai-nilai sehari-hari adalah bagian dari totalitas ekspresif hubungan sosial.
Frondizi (2001: 6-7) menyatakan bahwa nilai itu tidak ada dalam dirinya sendiri, tetapi bergantung pada pengemban atau penopangnya, yang pada umumnya adalah substansi yang berbadan. Jadi, keindahan, misalnya, tidak ada oleh dirinya sendiri, tetapi mewujud di dalam objek fisik. Kebutuhan akan pengemban untuk tinggal memberi sifat khusus pada nilai, membuatnya menjadi eksistensi yang bersifat ‘parasitis’. Akan tetapi, nilai berbeda dengan benda. Nilai bukan merupakan benda atau pengalaman, juga bukan merupakan esensi; nilai adalah nilai. Lebih jauh, Frondizi (2001:9) mengemukan bahwa nilai itu tidak menambah realitas atau substansi pada objek, melainkan hanya nilai.
Selain itu, Frondizi (2001:11) juga membedakan antara nilai dengan ‘objek ideal’. Perbedaannya terletak pada fakta bahwa ‘objek ideal’ bersifat ideal, sedangkan nilai itu tidak real. Perbedaan ini bisa kita lihat, misalnya jika kita membandingkan keindahan yang merupakan nilai, dengan ide tentang keindahan yang merupakan ‘objek ideal’. Kita menangkap keindahan melalui emosi, sedangkan ide tentang keindahan dipahami melalui intelektual.
Geriya (dalam Ngasti, 1991:7) menggolongkan nilai budaya menjadi dua bagian utama, yaitu (1) nilai objektif, yang merupakan sistem nilai yang hidup dalam alam pikiran sebagain besar warga masyarakat; dan (2) nilai subjektif, yang merupakan sistem nilai yang ada dan hidup dalam alam pikiran manusia individual. Yang kedua ini merupakan elemen super ego dari struktur kepribadian seorang individu.
Dalam hal ini, hanya wujud yang pertama atau kebudayaan ideal masyarakat Betawi yang akan dikaji. Hal ini sejalan dengan pendapat Levi-Staruss (dalam Suwondo, 2003:90) bahwa struktur suatu masyarakat tidak berkenaan dengan realita empirik, tetapi berkenaan dengan model-model yang disusun di belakangnya.
Nilai Kebetawian dalam Cerita Lisan Si Entong
Pada cerita pertama, Entong yang baru ditinggal bapaknya — seorang maling — belajar mengaji pada seorang guru ngaji, Rojali. Suatu saat Entong diperintah gurunya untuk membakar sepuluh biji nangka. Tetapi ada satu yang gosong, sehingga hanya sembilan yang diberikan pada gurunya tersebut. Namun, karena setiap kali diperintah gurunya untuk membakar sepuluh biji nangka hanya sembilan yang diberikan, maka Rojali curiga. Dia menduga Entonglah yang mengambil satu biji nangka tersebut. Oleh karena itu, Rojali hanya mengajarinya satu ilmu, yaitu “Bismillahirrohmannirrohim, biji nangka sepuluh tinggal sembilan.”
Ketika guru ngajinya tersebut pergi haji. Entong pun sedih karena tidak bisa mengantarnya. Dia pergi ke pelabuhan, tapi kapal gurunya sudah berangkat. Maka Entong pun membaca ilmu yang diajarinya gurunya berkali-kali. Hingga kuasa Allah mengantarnya ke Mekkah dan bertemu dengan gurunya tersebut. Melihat Entong, Rojali menyadari kesalahannya dan meminta maaf pada Entong.
Dalam cerita ini tokoh Entong seakan-akan dibuat bodoh oleh guru ngajinya yang hanya mengajarinya satu hal selama dia belajar padanya. Namun, ilmu yang hanya satu itulah yang membuat gurunya sadar akan kesalahannya dalam menilai seseorang. Nilai yang bisa diambil dari cerita di atas, yaitu jangan menilai seseorang hanya dari keturunannya belaka. Hal ini karena Berburuk sangka kepada orang lain, adalah perbuatan yang sangat tidak terpuji dan merugikan diri sendiri. Selain itu, kepatuhan seorang murid kepada guru dan ibunya pasti akan membuahkan hasil yang tak terbatas.
Cerita kedua berkisah tentang Entong yang sedang menguras air laut untuk mendapatkan mutiara. Semua masyarakat yang melihat perbuatan Entong tersebut pun menganggapnya sinting. Setiap ditanya oleh orang yang melintas dan melihat perbuatan Entong tersebut, dia hanya berkata ““Man jadda wajada” (siapa bersungguh-sungguh pasti berhasil).
Perbuatan Entong tersebut ternyata mengganggu penghuni laut. Kerajaan di dasar laut pun terganggu dan meminta Entong untuk menghentikan perbuatannya menimba air laut tersebut. Bahkan mereka terpaksa bernegosiasi dengan Entong. Entong pun berjanji akan menghentikan perbuatannya, jika mereka memberikan sebuah mutiara yang besar. Karena mereka tak mau terganggu oleh tingkah Entong tersebut, maka kerajaan laut pun memberikan mutira tersebut padanya. Semua masyarakat pun dibuat terheran-heran melihat Entong mendapatkan mutiara tersebut.
Pada cerita kedua ini, masyarakatlah yang menilai perbuatan sia-sia Entong menguras air laut tersebut sebagai perbuatan bodoh. Nilai yang terkandung dalam cerita kedua ini adalah tentang kesungguha dalam mengejar impian. Tidak mungkin mendapatkan apa yang kita inginkan tanpa kerja keras.
Dari kedua cerita tentang Entong tersebut dapatlah diketahui seperti apa masyarakat Betawi dalam kehidupan sehari-harinya. Masyarakat yang sangat taat dengan agamanya, patuh pada guru dan orang tua, sabar, dan tidak mengenal putus asa. Namun, hal ini sering dilupakan oleh para pekerja kreatif di negeri ini dalam menuangkan cerita yang berlatar Betawi kini.
Betawi yang ‘Dipandirkan’
Belakangan memang ada sinetron yang berlatar Betawi mengangkat nilai-nilai seperti yang ada dalam cerita Si Entong ini. Akan tetapi, tidak ada kebaruan di dalam cerita tersebut, selain menduplikasikannya dengan mengubah latar waktu dan tokoh-tokoh cerita.
Sebaliknya, justru para pekerja kreatif kita di dunia hiburan saat ini malah memandirkan orang-orang Betawi dalam sinetron-sinetron yang mereka produksi. Jika kita memperhatikan sinetron-sinetron yang berlatar budaya Betawi saat ini, kita seperti melihat parade kebodohan. Penggambaran orang Betawi yang bodoh, dusun, dan seakan tidak mengenal kemajuan peradaban kental di layar televisi. Begitu pula ketika kita melihat komedi di televise, banyak komedian Betawi yang muncul pada acara lawak di televisi hanya dijadikan bulan-bulanan dari banyolan pelawak lainnya, Mpok Nori misalnya.
Dari tokoh semacam Mpok Nori ini sebenarnya tergambar kesabaran orang Betawi seperti dalam penggambaran cerita di atas dalam melakoni hidup. Hal itulah yang seharusnya dihargai. Bukan malah turut menghinanya seprti yang banyak dilakukan orang-orang yang tak bertanggung jawab yang menyamakan tokoh Betawi ini dengan menempelkan wajahnya pada tubuh pesohor seronok, seperti setahun belakang kita lihat di media internet.
Jadi, wajar jika CGR (http://stambulpanjak.blogspot.com, diakses pada 3 Maret 2012) dalam esainya mengutuk sinetron-sinetron berlatar budaya Betawi yang penuh kekonyolan tersebut dan berdampak dalam memorak-porandakan pencitraan terhadap orang Betawi. Hal ini karena orang Betawi selalu digambarkan lugu, naif, bodoh, ketinggalan zaman, dan karikatural.
Apa yang dilakukan para ‘pengusaha’ sinetron tersebut dengan ‘memandirkan’ orang Betawi seharusnya tidak terjadi, jika mereka mau mempelajari budaya Betawi dan nilai-nilai di dalamnya sebelum membuat sinetron tersebut. Selain itu, masyarakat Betawinya pun mau sedikit saja mengkritisi hiburan-hiburan di televisi tersebut.
Penutup
Cerita lisan Betawi di masa lalu sebenarnya memandang bentuk cerita pandir itu sebagai suatu cara untuk menampilkan nilai-nilai yang sangat baik dalam agama dengan tidak melupakan unsur hiburannya. Sementara, pandangan itu sangat bertolak belakang saat ini yang justru mengeksploitasinya sebagai hiburan semata. Sehingga saya malah merasa hanya melihat parade kebodohan dalam sinetron-sinetron di televisi yang berlatar Betawi.
Hal semacam inilah yang sebenarnya mencoreng pencitraan orang Betawi. Jika tidak ada tindak lanjut dari dunia kreatif kita dalam menghadirkan hiburan yang mengangkat budaya Betawi sebagai tema dasarnya, maka akan kian jelek saja pandangan orang lain terhadap kita. Alangkah baiknya, jika rumah-rumah produksi yang ingin membuat sinetron berlatar Betawi mau melakukan penelitian budaya dahulu sebelum memproduksinya. Sehingga, kekeliruan dalam pencitraan orang Betawi tidak semakin jauh.
Selain itu, kita sebagai orang Betawi yang memiliki nilai-nilai luhur dari engkong-engkong kita dulu mau ikut mengkritisi hiburan-hiburan yang salah kaprah dalam menampilkan budaya kita tersebut.
Kepustakaan
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Diterjemahkan oleh tim Kunci Cultural Studies Center. Yogyakarta: Bentang.
Dandes, Alan. 1965. The Study of Foklore. Engelwood: Pretice-Hall.
Danandjaya, James. 1991. Foklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Frondizi, Risieri. 2001. Pengantar Filsafat Nilai. Diterjemahkan oleh Cuk Ananta Wijaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ngasti, Niwayan et all. 2001. Nilai-nilai Budaya dalam Kidung Mituturin Raga. Jakarta: Pusat Bahasa.
Prijanto, Saksono. 2003. “Penentangan dan Pengukuhan Adat dalam Novel Indonesia.” Dalam Abdul Rozak Zaidan dan Dendy Sugono (ed), Adakah Bangsa dalam Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa
Ramadhan, Chairil Gibran. 2010. “Sinetron Betawi Kok Gitu?” dalam http://stambulpanjak.blogspot.com/2010/10/essay-sinetron-betawi-kok-gitu.html. Diakses pada 3 Maret 2011.
Semi, M Attar. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita.
Wuradji. 2003. “Pengantar Penelitian” dalam Jabrohim (ed), Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.
* Pengajar di BIPA dan pengurus di PSB (Pusat Studi Betawi) Universitas Nasional