Pilihlah Bukan Karena Kumis atau Kotak-kotak

pilgub dki jakarta, kumis, kotak-kotak, jokowi, foke, baju kotak-kotak, fauzi bowo, foke-nara, jokowi-ahok, cinte betawi, gubernur jakarta, pemilukada jakartaMentari masih mencorong di langit Jakarta. Panas. Bahkan akan bertambah terik karena putaran kedua Pemilihan Gubernbur DKI Jakarta telah dimulai. Perang strategi dan adu siasat bahkan telah dimulai sebelum putaran kedua ini dimulai. Dan masyarakat Jakarta akan segera menentukan pilihan mereka pada 20 September 2012 nanti. Fauzi Bowo atau Joko Widodo yang akan memimpin tampuk pemerintahan Ibu Kota Indonesia.

Kemarin, baik Foke maupun Jokowi memulai kampanye putaran kedua Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta. Kedua calon gubernur tersisa bersama pasangannya masing-masing itu pun kembali merayu para pemilih mereka dengan berbagai cara agar masyarakat Jakarta sudi memilih mereka untuk memimpin kota ini. Di sinilah diperlukan kejelian dan kecerdasan warga Jakarta dalam memilih pemimpin mereka. Jangan sampai kita salah dalam memilih, sehingga kecewa nantinya.

Memilih seorang pemimpin bukan perkara mudah. Jika dalam shalat kita memilih imam dengan meilihat kemampuan orang tersebut dalam membaca Al Quran, usia, atau rasa hormat kita pada dia. Lalu kita mendorong orang tersebut untuk menjadi pemimpin kita dalam shalat, sehingga imam dalam shalat tampak ikhlas dan tanpa tujuan apapun selain memimpin shalat dengan baik sesuai syariat Islam. Sebaliknya, memilih pemimpin di negeri ini, termasuk juga gubernur di kota ini bukanlah memilih imam seperti dalam shalat.

Pemimpin-pemimpin yang disodorkan ke masyarakat bukanlah pemimpin-pemimpin yang disorongkan masyarakat sendiri karena kemampuannya, tetapi hasil dari transaksi politik partai-partai yang mengusung mereka. Wajar jika kita juga meragukan keikhlasan mereka dalam memimpin semata-mata hanya untuk rakyat. Bukan tidak mungkin kepentingan partai juga menyertai mereka selama memimpin. Akan tetapi, tentu kita tidak bisa mengubah system pemilihan tersebut begitu saja. Maka, terpaksa kita memilih yang sudah disediakan di depan kita.

Dalam konteks pemilihan gubernur di Jakarta ini, maka pilihan yang disediakan dan tersisa di depan kita hanya Foke-Nara dan Jokowi-Ahok. Memang masih ada pilihan lain, yaitu tidak memilih. Namun, jika diibaratkan pilihan itu makanan, maka dengan memilih tidak memilih makanan itu berarti kita puasa. Nah, jika kita tidak memilih salah satu dari keduanya berarti secara tidak langsung kita puasa untuk mengkritisi mereka ketika memimpin nanti. Sebab, bukankah tidak etis jika kita mengkritik sementara kita ikut memilih. Atau kalau diibaratkan makanan tadi, tentu akan aneh kalau kita menilai rasa makanan tersebut sementara kita puasa dan tidak memilih satu pun.

Jadi, mungkin masih lebih baik kalau kita tetap memilih yang tersedia di depan kita itu, walaupun mungkin masih kurang memuaskan kita. Oleh karena itu, sebagai masyarakat kota ini kita pun harus pandai dalam memilih di antara keduanya. Jika salah memilih kucing dalam karung mungkin kita hanya akan mendapatkan kucing garong yang sering mencuri ikan di dapur kita. Tetapi, jika salah memilih pemimpin kita bisa-bisa mendapatkan pemimpin kucing garong yang dengan rakus menguras pendaringan rakyat.

Lalu bagaimana kita memilih? Menjadi pemimpin di mana pun akan berhasil jika dia mengenal dengan baik lingkungan yang dia pimpin. Dalam hal memilih pemimpin daerah, tentu kita harus memilih pemimpin yang faham dan mengerti budaya dan masyarakat setempat. Kalau diibaratakan, “di kandang kambing ngembik di kandang kebo ngelenguh”. Tidak mungkin memimpin sepasukan kambing tapi bergaya kerbau atau sebaliknya. Jadi, tentu ada baiknya kalau kita memilih pemimpin yang mengenal dengan baik budaya dan orang-orang yang tinggal di Jakarta ini, selain melihat keamanahan dan kejujurannya.

Fauzi Bowo  memang kita kenal sebagai putra Betawi dan telah memimpin kota ini lima tahun kemarin. Namun, apakah dia benar-benar telah mengenal budaya dan masyarakat di Jakarta dengan baik. Belum tentu. Sebaliknya, Joko Widodo memang selayaknya pendatang yang tiba-tiba muncul ke Jakarta. Lalu apakah dengan begitu kita bisa dengan mudah bilang dia tidak mengerti budaya dan masyarakat kita. Belum tentu juga.

Sebenarnya kita bisa melihat pemahaman mereka tentang budaya dan masyarakat Jakarta ini melalui program-program mereka. Apakah program-program yang mereka ajukan memiliki kepedulian terhadap perkembangan budaya kita dan masyarakat di Jakarta. Atau sekedar menebar janji manis yang tidak pernah benar-benar kita nikmati kemanisan itu. Sebab janji semanis apapun hanya akan dikerubungi semut dan segera hilang begitu semut-semut itu pergi kembali ke lubang mereka. Sementara, program nyata tentu akan memberikan bayangan kepada kita seperti apa usaha yang harus kita perjuangan bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama, bukan tujuan partai atau kepentingan pribadi semata.

Maka, memilihlah pemimpin kalian dengan bijak, bukan karena janji atau pencitraan yang sengaja dibuat oleh tim sukses masing-masing calon gubernur tersebut. Jadi, janganlah memilih berdasarkan kumis ataupun kotak-kotak. Apalagi memilih kumis yang kotak-kotak. Memilih Gubernur DKI Jakarta pada 20 September 2012 nanti dengan akal sehat dan pertimbangan yang matang. Sehingga, gubernur yang terpilih nanti benar pemimpin yang layak memimpin Ibu Kota Indonesia ini untuk lima tahun ke depan.

 

Nggak  ada rambut namanye botak

Minum kopi nggak lupa ruti

Mau yang kumis atawa kotak-kotak

Nyang penting Betawi tetep di ati… (redaksi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>