Tawuran Kok Kampungan

Siapa bilang perilaku tawuran itu kampungan. Kalau melihat konteks kata ‘kampung’ sekarang ini justru sudah tidak layak jika dimaknai sebagai terbelakang atau tidak beretika. Justru perilaku tawuran pelajar sekarang ini lebih banyak dipengaruhi dari budaya modern yang banyak dikenal anak-anak muda dari media-media kita, seperti televisi ataupun internet.

Benarkah Kampungan?

“Pelajar-pelajar yang tawuran kemarin itu kampungan banget deh,” kata kawan saya menanggapi peristiwa perkelahian pelajar di Manggarai yang menimbulkan korban meninggal dunia tersebut.

Saya hanya tersenyum dengan pendapat kawan tersebut. Alawy yang menjadi korban perkelahian antara SMA 6 dengan SMA 70 itu, juga kawan-kawan serta lawan-lawannya tentu bukanlah orang kampung. Mereka adalah produk kota. Anak-anak muda yang dilahirkan dari budaya kota. Jelas budaya kota bukan budaya kampung. Lalu, kenapa kawan saya tersebut mengistilahkannya dengan kampungan?

Pemikiran semacam ini telah menghantui masyarakat kita. Kita seakan dibuat untuk mengakui jika yang kampung itu buruk, sedang yang kota itu baik. Tapi, apa iya seperti itu?

Kenyataannya tidak semua yang kampung itu buruk dan tidak selamanya yang kota itu baik. Penghitam-putihan terhadap pemikiran yang kampung dan kota ini sebenarnyalah yang salah kaprah. Bahkan kalau kita melihat fenomena Pemilukada DKI Jakarta belakangan ini, justru orang kampunglah yang memenangkannya. Joko Widodo yang nyata-nyata orang Solo dan sebagian masyarakat menganggapnya sebagai orang kampung bisa memenangkan pemilihan gubernur di kota ini. Sementara, Fauzi Bowo yang sudah sangat jelas kita kenal sebagai orang Betawi dan dibesarkan di Jakarta pun harus mengakui kekalahannya dalam pemilihan kepala daerah tersebut. Lalu kenapa masih ada orang yang memakai istilah kampungan tersebut?

 

Kampungan dan Konteksnya Sekarang Ini

Kalau kita hanya meniliknya dari linguistik, kita hanya akan melihat jika kata kampungan tersebut berasal dari kata dasar ‘kampung’ dengan akhiran ‘-an’ yang berarti bersifat seperti kampung. Atau dalam KBBI diartikan sebagai (1) berkaitan dengan kebiasaan di kampung; terbelakang (belum modern); kolot; (2) tidak tahu sopan santun; tidak terdidik; kurang ajar.

Akan tetapi, kita tidak bisa melihat sebuah kata hanya berdasarkan struktur atau apa yang sudah termaktub di kamus belaka. Sementara kamus sendiri selalu mengalami revisi dari tahun ke tahun berdasarkan kondisi pemakaian bahasa di kehidupan masyarakatnya. Sebagaimana yang dikatakan Ludwig Wittgenstein (1989) bahwa bahasa adalah elemen yang esensial di dalam pikiran kita. Oleh karena itu, tidaklah mungkin kita hanya melihat sebuah kata dalam bahasa tersebut hanya berdasarkan strukturnya saja. Sementara pikiran kita sendiri terdiri dari bahasa-bahasa yang kita tangkap dari kondisi di lingkungan kita berada.

Jadi, sebenarnya kita tidak bisa memaknai kata kampungan sebagaimana yang dimaknai secara susunan sintaksis atau gramatikalnya semata. Sebab, seperti yang dinyatakan Wittgenstein, jika di dalam kehidupan ini banyak sekali tata permainan bahasa (language games). Maksudnya, yaitu bahasa memiliki bermacam-macam konteks pemakaiannya sesuai dengan keragaman hidup manusia. Jadi, kita tidak bisa begitu saja memakai kata kampungan untuk sebuah tidakan yang tidak beretika pada peristiwa tawuran tersebut.

Jika kita menilik jauh kebelakang, kata kampungan atau kalau orang Betawi menyebutnya ‘udik’ sebenarnya lahir karena di masa lalu hanya di kota-kota saja kita bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Sementara, di desa-desa masih sangat sulit dijumpai sekolah-sekolah. Saat ini, walau sekolah-sekolah di kampung masih tidak sebanyak kota, tapi kita tidak bisa mengatakan mereka tidak mengenal pendidikan. Pada kenyataannya sekarang ini banyak orang-orang desa yang sudah mengenal dan mengenyam pendidikan. Bahkan telah memiliki tempat yang penting dalam dunia usaha mereka karena pendidikan yang mereka raih. Oleh karena itu, kelayakkan pemakaian istilah ‘kampungan’ untuk menggambarkan orang yang tidak beretika, tidak terdidik atau kurang ajar sebenarnya sudah kurang tepat.

Bahkan kalau kita melihat berita-berita di televisi ataupun media lainnya, justru banyak orang-orang yang terdidik dan lulusan univesitas ternama, baik di negeri ini maupun di luar negeri, yang berada di DPR atau Pemerintahan tidak mengenal etika dan berlaku kurang ajar terhadap rakyat karena tanpa malu-malu menguntit uang rakyat dengan perbuatan korupsi yang mereka lakukan. Jadi, kita tidak bisa mengatakan yang berpendidikan pasti beretika. Malah kebanyakan orang kampung yang biasanya hanya mengenyam pendidikan sampai SMP atau SMA lebih beretika dari para pejabat tersebut.

 

Bukan Kampungan

Sebenarnya, menurut saya pandangan tentang istilah ‘kampungan’ ini dipengaruhi oleh budaya modernisme yang masuk seiring dengan kemajuan zaman. Di mana kita tahu jika kepala kita telah dicekoki oleh pandangan yang menganggap yang ‘barat’ itu yang maju dan selain itu terbelakang. Oleh karena itu, masyarakat seperti terbawa arus dan sekedar mengambil mentah-mentah pandangan ini. Sehingga sampai saat ini kita seperti masih minder terhadap dunia barat. Padahal secara pemikiran dan budaya bangsa kita tidak kalah dengan mereka.

Bahkan tawuran yang sering dilakukan pelajar-pelajar kita sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya asing yang mereka serap tanpa saringan yang baik. Kalau melihat tradisi budaya berkelahi kita, tidak ada dalam budaya berkelahi kita tradisi berkelahi secara keroyokan semacam itu. Sebagai contoh budaya carok yang tanding satu lawan satu secara ksatria di Madura. Bahkan kebanyakan budaya kita tidaklah memulai perkelahian jika belum terpaksa, seperti istilah orang Betawi “lu jual gue beli” yang berarti kalau ditantang baru dia melawan. Alias tidak takut menghadapi tantangan lawan.

Budaya tawuran ini lebih banyak dipengaruhi budaya barat yang mengenal perkelahian secara keroyokan tersebut. Hal ini bisa kita lihat dalam film-film mafia atau gangster yang mereka produksi. Dan anak-anak muda kita melahapnya begitu saja tanpa mereka cerna baik buruknya bagi mereka. Jadi, sebenarnya perbuatan mereka bukanlah kampungan, tapi tindakan sok kebarat-baratan yang tidak sesuai dengan budaya kita.

Oleh karena itu, kita tidak perlu ragu untuk membuang budaya yang kurang baik dan tidaklah sesuai dengan budaya kita tersebut. Cara terbaik untuk membuang budaya tawuran yang belakangan sering kita lihat pada generasi muda kita adalah dengan kembali pada nilai-nilai luhur budaya nenek moyang kita. Misalnya, sebagai orang Betawi alangkah lebih baiknya jika kita juga mengenalkan budaya silat pada anak-anak kita. Silat tidak semata-mata untuk berkelahi loh. Ada nilai-nilai filosofis tersendiri pada beladiri asli kita itu. Dan masih banyak lagi budaya-budaya kita yang sebenarnya layak dan jika mau kita kembangkan akan menjadi sesuatu yang baik dan akan menjadikan negeri ini kuat secara budaya. Bahkan dengan budaya kita bisa membuat negara kita lebih disegani bangsa-bangsa lain.

 

Sekedar Penutup

Sebagai generasi muda kita tidak perlu malu dengan budaya kita sendiri. Dengan mengembangkan budaya kita setidaknya kita bisa menghargai warisan leluhur kita. Mengenal kearifan lokal kita yang sebenarnya tidak kalah jika dibandingkan dengan bangsa lain. Selain itu, hal-hal negatif dari pengaruh budaya kapitalisme bisa kita hindari. Dan kita bias dengan bangga menyebut diri kita sebagai pewaris budaya Nusantara yang merupakan bagian dari budaya dunia. Merdeka…!!!

 

Mencos, 28 September 2012

*Mh Hamdan, pengajar BIPA dan peneliti di PSB (Pusat Studi Betawi) Universitas Nasional….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>