Menghidupkan Kesenian Betawi di Tepian Ciliwung

Angin semilir berembus menggoyang lembut pucuk-pucuk ranting pada pepohonan yang tumbuh rindang. Di bawah sana, beberapa anak laki-laki bercelana pendek melompat ke Sungai Ciliwung seperti itik yang rindu air.

Menjelang sore hari, ketika azan Ashar sayup-sayup terdengar, lima sampai sepuluh orang yang duduk santai di bawah pohon mulaimembagi-bagi kertas naskah. Disusul datang Bang Oji, salah seorang pemain lenong dan drama, dan keriuhan pun pecah. “Wah Bang, kemane aje? Diomongin dulu nih pembagian perannya. Gimana mustinya nih tiap dialog,” kata salah seorang berseru.

Bang Oji yang tak hanya pandai bermain lenong tetapi juga silat langsung meminta maaf kepada orang-orang yang telah menunggunya.

Di tepian Sungai Ciliwung, Kelurahan Balekambang, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur,  ini seniman seperti Bang Oji dan sejumlah seniman Betawi lainnya berkumpul untuk latihan lenong, silat, palang pintu, dan juga teater gaya Betawi.

Mereka menjadikan tempat latihannya itu sebagai Sanggar Condet. Sanggar Condet berdiri sejak tahun 2000. Hasan atau biasa dipanggil Bang Acan (38), yang sudah terlibat aktif di dalam Sanggar Condet sejak sanggar itu berdiri, mengaku ada misi di balik sanggar tersebut.

Misinya ingin menghidupkan kembali kesenian Betawi yang sesungguhnya, penuh santun, dan nilai kehidupan. Bukan kesenian Betawi yang banyak tampil belakangan ini, yang malah sarat kata-kata kasar. Sanggar Condet ini untuk menarik generasi muda menyukai kesenian Betawi, seperti pencak silat dan berpantun. “Di dalam berpantun itu kita diajarkan menyampaikan pesan dan nasihat dengan cara halus,” katanya.

Menurut pembina Sanggar Condet yang tak lain Ketua RT setempat, Abdul Salam, setidaknya sekarang ada lebih dari 50 orang berkesenian di sanggar itu. Mereka datang dari berbagai daerah di Jakarta.

“Kami menerima siapa pun dengan satu misi, memajukan kesenian Betawi,” katanya.

Menurut Abdul, salah satu kesenian yang mulai hilang adalah ketimpring. Pencak silat juga mulai ditinggalkan. “Sebagian anak-anak yang mau latihan pencak silat itu untuk berantem. Kami tidak kasih itu,”

Abdul mengungkapkan, biarpun Betawi dikenal sebagai pencak silat dan jawara, itu tak berarti menjadikan orang Betawi sebagai penyebab keonaran. Bahkan, organisasi masyarakat dengan nama Betawi itu sama sekali tidak mencerminkan budaya Betawi. “Yang namanya jampang itu dia kerja untuk lingkungannya dari serangan pihak luar, bukan jadi preman,” katanya.

Melalui berkesenian, lanjutnya, misi selanjutnya adalah menjaga lingkungan alam Jakarta. “Bisa mulai dari jaga Ciliwung biar kagak banjir terus. Di sini sudah mulai dijaga biar kagak dibangun rumah,” katanya.

Untuk menjaga lingkungan alam, Zahrudin Al Batawi (49) seniman pantun di sanggar itu, mengungkapkan dengan caranya. “Buang sampeh di kali Ciliwung, hutan dibabat faune binase. Banyak musibe kite jangan bingung, itu akibat ulah manusie.” Katanya. (MDN)

 

Sumber : Kompas, Jumat 2 November 2012, Hal 27

Foto : JanCipta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>