Kampung Silat, Bertahan Lestarikan Budaya Betawi

silat betawi, jawara betawi, cangkrik, rompes pecut, pengasinan, belekambang, condet, silat, pencak silatMelestarikan budaya yang terus tergerus modernisasi, setidaknya itulah yang dilakukan dan dilakoni warga di Kelurahan Balekambang, Condet, Kramat Jati, Jakarta Timur.

Secara swadaya, warga mengumpulkan remah-remah yang tersisa dari kebudayaan yang mereka miliki lalu dibagikan kepada anak-anak kecil dan pemuda yang ada di permukiman mereka.

Di kampung ini pula dapat ditemukan warga biasa aktif bersama-sama mengajarkan silat Betawi, lenong, dan pantun Betawi secara rutin yang merupakan budaya Betawi. Mereka tidak memiliki sanggar budaya dalam melestarikan kebudayaan sebagaimana lazimnya.

Kalau ada budayawan yang gencar mengampanyekan sebuah kebudayaan, itu pun sebuah hal wajar. Tetapi kalau ada sebuah kampung, yang warganya bersama-sama berjuang mempertahankan sebuah kebudayaan yang dianggap hampir punah, itu pantas diacungi jempol, terutama di Ibu Kota Jakarta.

Memang, sejak dulu kawasan Condet, baik itu wilayah Batu Ampar, Balekambang, Gedong, maupun Kampung Tengah, cukup identik dengan kebudayaan Betawi.

Namun tak bisa dimungkiri, seiring perkembangan zaman, semakin banyak mereka yang lupa ataupun enggan mengingat kembali seperti apa kebudayaan Betawi itu sendiri. Karena itu, apa yang dilakukan oleh warga Balekambang ini bolehlah jadi panutan bagi warga di wilayah lain.

Tujuan mereka cukup menarik. Selain bertujuan untuk turut andil dalam melestarikan budaya Betawi, mengisi kegiatan warga dengan hal-hal berbau budaya dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi persoalan penyakit masyarakat (Pekat) yang dulu kerap terjadi di wilayah ini.

“Dulu di sini pemuda-pemudanya doyan tawuran, mabuk-mabukan, dan mengonsumsi narkoba. Karena itu kita buatkan kegiatan agar warga di sini sibuk dengan sesuatu yang positif,” ujar Ketua RW 01, Kelurahan Balekambang, H Ekky Muchsin.

Ibarat pepatah menyelam sambil minum air, warga di Kelurahan Balekambang akhirnya memutuskan untuk mengisi kegiatan para pemuda dan anak-anaknya dengan sesuatu yang berbau budaya Betawi. Selain mengalihkan waktu-waktu yang tidak positif, pemuda di sana pun mendapat ilmu tentang budaya dan budi pekerti. “Ya kan dalam budaya kita tidak hanya belajar seni atau budaya saja, tetapi juga budi pekerti dan pemahaman tentang keagamaan. Itu semua kita bagikan kepada mereka,” ucap Ekky.

Maka pada 2010, beberapa orang di antara warga yang memahami silat Betawi diminta untuk mengajarkan bela diri tersebut kepada anak-anak dan pemuda di sana.

Sejumlah orang tua yang memiliki ketertarikan untuk bergabung pun diperbolehkan untuk ikut serta. Karena di dalam silat Betawi biasanya ada unsur pantun dan sastra, sejumlah murid perguruan di sana pun diberikan sedikit demi sedikit pemahaman akan pantun dan sastra.

Tidak disangka-sangka, setelah satu tahun berlangsung, kegiatan-kegiatan negatif seperti tawuran, mengonsumsi minuman keras (miras) dan narkoba, benar-benar dapat diredam. Karena melihat ada dampak yang positif, warga pun berinisiatif untuk menambah kegiatan mereka dengan lenong. Ternyata sejumlah warga yang ada di sana berbakat untuk memainkan seni lenong.

Sejak itulah hingga saat ini warga di Balekambang aktif dalam seni silat Betawi, pantun Betawi, dan lenong Betawi.

Menurut Ekky, melalui kegiatan-kegiatan tersebut, selain memberikan pembelajaran budaya dan mengisi waktu-waktu senggang warganya dengan hal positif, kekeluargaan mereka semakin kuat dan erat. Selain anak-anak dan pemuda berlatih seni Betawi, para orang tua berkumpul bersama dan menyiapkan makanan.

“Karena itu, secara rutin warga di sini berkumpul dan makan bersama. Itu biasa kami lakukan saat menunggu anak-anak kami berlatih lenong atau silat,” katanya.

Hasil berlatih selama dua tahun pun bisa dibawa keluar Balekambang. Terbukti perwakilan mereka kemarin mendapatkan gelar juara kedua dalam kompetisi palang pintu yang diadakan di Festival Kemang 2012 beberapa waktu lalu. “Namanya palang pintu, ada silat ada pantun. Meskipun kami bukan sanggar, tapi kami bisa menang kok,” kata Ekky lagi.

Lurah Balekambang Ahmad Maulana mengaku bangga mengetahui warganya aktif dan berperan serta dalam melestarikan budaya Betawi. Sebagai seorang Betawi asli, ia menyadari betul bahwa akhir-akhir ini seni dan kebudayaan Betawi semakin terkikis.

Sejalan dengan itu, mereka yang mau melestarikan pun semakin sedikit. “Biasanya budaya Betawi itu hanya dikenal oleh para orang tua. Karena itu begitu ada warga yang mau aktif membagikannya kepada yang lebih muda, dan yang muda pun mau menerima, ya saya dukung,” paparnya.

Meski diprakarsai oleh warga biasa, pelajaran silat Betawi yang ada di Balekambang bukanlah bela diri sembarang. Di sini, anak-anak kecil, pemuda, dan orang tua belajar dua aliran silat yang cukup ternama, yakni aliran Muara Condet dan Rompes.

Meski memiliki karakter yang berbeda, warga Balekambang berharap keduanya dapat disandingkan. Muara Condet dengan aliran Pengasinannya dianggap lebih lembut dan lebih memiliki rasa tega terhadap lawan. Sementara Rompes yang dikenal dengan ilmu Rompes si Pecut dikenal sebagai bela diri yang mematikan.

“Dua-duanya ada di sini. Tidak saling mengunggulkan diri, tapi saling melengkapi,” ujar salah seorang guru silat aliran Rompes bernama Fauzi. Sejak awal bela diri yang diajarkan sebenarnya adalah Muara Condet. Namun belakangan, warga menginginkan ada masukan aliran lain yang juga diajarkan kepada mereka.

Penggabungan antara Muara Condet dan Rompes menurutnya bukan tanpa alasan. Keduanya memiliki latar belakang sejarah, di mana dulunya dua aliran silat yang berbeda sulit untuk akur dan berjalan beriringan.

Karena itu, sebagi sebuah tujuan kebudayaan, ada baiknya menghilangkan unsur konflik dengan menggabungkan keduanya. “Tujuan kita kan melestarikan budaya. Nggak boleh ada unsur konflik, nggak ada gesekan antarjurus ataupun aliran,” paparnya.

Pendiri perguruan silat “Rompes Si Pecut” ini, Babeh Sa’aman, dikenal sebagai salah satu tujuh jawara Betawi kala itu. Bahkan pada 70-an Sa’aman terpilih sebagai wakil Indonesia untuk melatih silat di Belanda, Belgia, dan Jerman Barat mewakili Indonesia.

“Bahkan Babeh Sa’aman juga dijuluki sebagai Bruce Lee Indonesia oleh orang-orang Eropa kala itu,” ungkap Oji mengenangnya.

 

Sumber : SHnews.co

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>