Petasan Betawi: Simbol Status Sosial dan Rasa Syukur
Petasan (juga dikenal sebagai mercon) adalah peledak berupa bubuk yang dikemas dalam beberapa lapis kertas, biasanya bersumbu, digunakan untuk memeriahkan berbagai peristiwa, seperti perayaan tahun baru, perkawinan, dan sebagainya. Petasan ada yang berukuran kecil sebesar cabe rawit hingga sebesar teko air minum.Petasanmerupakan kebudayaan asal China, namun seiring perjalanan waktu, tradisi menyalakan petasan ini ditiru oleh pribumi Batavia yakni orang-orang Betawi, teristimewa menjelang pesta perkawinan atau khitanan. Juga untuk memeriahkan bulan suci puasa bagi umat Islam. Dalam masyarakat Betawi petasan berfungsi sebagai alat komunikasi, misalnya untuk memberitahu khalayak ramai dan para undangan bahwa pesta pernikahan atau khitanan segera dimulai.
Berbeda dengan masyarakat Betawi, bagi masyarakat Tionghoa tujuan menyalakan petasanawalnya hanya untuk mengusir makhluk pengganggu bernama Nian, yang selalu muncul pada Tahun Baru Imlek. Pada masa kemudian bunyi petasan digunakan untuk mengusir syetan, iblis, jin dan roh jahat lainnya, maksudnya untuk menakuti-nakuti dan mengusir syetan yang membawa sial dan menyebarkan penyakitpada berbagai hajatan.
Sejarah datangnya petasan berawal pada abad ke-16 dan ke-17, petasandibawa oleh para pedagang Tionghoa ke tanah Betawi. Tapi karena adanya kebakaran di kebun-kebun milik tuan tanah dan pemerintah, maka pada sekitar tahun 1650 penguasa VOC melarang pembakaran petasan, terutama di musim kemarau. Petasan juga dianggap berpotensi membahayakan rumah penduduk yang umumnya terbuat dari bambu dan atap rumbia. Selain itu pelarangan dilakukan karena faktor keamanan. Penguasa VOC kala itu sulit membedakan bunyi ledakan petasan dengan letusan senjata api. Ketakutan VOC bisa dipahami karena orang-orang Tionghoa pernah menggunakan petasan sebagai senjata perlawanan. Banyak tentara terpaksa lari terbirit-birit mengira bunyi senapan.
Parung Panjang, sebuah wilayah di dekat Serpong, sampai saat ini masih dikenal sebagai pusat penghasil petasan terbesar di Indonesia. Bermula dari pembantaian etnis Tionghoa di Batavia sekitar tahun 1740, banyak masyarakat melarikan diri ke daerah-daerah pinggiran di Batavia, seperti Tangerang, Parung, Serpong, Parung Panjang, Tenjo, Cisauk, Teluk Naga, dan Balaraja. Mereka inilah yang disebut China Benteng. Mereka pun membawa terus adat kebiasaan menyalakan petasan menjelang perayaan Imlek, Peh Cun, atau tradisi lainnya.
Kini membuat, menjual dan menyalakan petasantelah dilarang olehpemerintah DKI Jakarta dimulai pada masa Gubernur Wiyogo Atmodarminto yang memimpin Jakarta pada periode 1987 hingga 1992 karena selain banyak memakan korban jiwa dan harta benda, menurutnya petasan merupakan salah satu wujud pemborosan. Tapi kebiasaan membakar petasan tetap saja sulit terbendung. Bagi orang Betawi tradisi menyalakan petasan sudah melekat sebagaibudaya, sebagai salah satu unsur yang ikut meramaikan suasana. Rentetan bunyi petasan dalam sebuah hajatan, menjadi sebagai simbol status sosial seseorang di masyarakat dan penanda rasa syukur.
~..:Berbagai Sumber:..~