Betawi di Laju Zaman

betawi

Siapa yang disebut orang Betawi sekarang ini? Pertanyaan itu mengemuka dalam diskusi Menggali Mutiara Betawi yang diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (14/11). Menghadapi pertanyaan semacam itu, pengamat budaya Betawi Abdul Chaer sambil berseloroh mengatakan, “Orang Betawi itu adalah orang yang kalau Lebaran tidak pulang kampung.”

Saat ini, dengan bercampurnya beragam orang dengan berbagai latar belakang dalam satu wilayah serta pernikahan lintas suku, tidak mudah mendefinisikan kesejatian etnis seseorang. Abdul Chaer lantas melemparkan lelucon soal perbedaan etnis dalam pernikahan ini. “Ada orang Bali yang menikah dengan gadis Betawi. Masalah timbul ketika mereka punya anak. Si bapak ingin anaknya diberi nama Bali, si ibu ingin nama Betawi. Akhirnya join, jadilah anak itu bernama ‘I Gede Amat’,” dan tertawalah peserta yang hadir dalam diskusi tersebut.

Persoalan tentang etnis, khususnya yang ada di Jakarta, diselipkan dalam obrolan santai sore itu. Di Jakarta, bertemulah segala etnis. “Orang Betawi bercampur baur dengan etnis lain sehingga saya kira akan muncul satu generasi baru yang dinamakan orang Jakarta.” Karena keberagaman tersebut, tak berlebihan kiranya jika Abdul Chaer kemudian mengatakan Tuhan menciptakan bangsa Indonesia di Jakarta.

Sayangnya dalam beberapa kasus, perbedaan justru memicu konflik. Padahal, berkaitan dengan tajuk diskusi Menggali Mutiara Betawi, salah satu yang dianggap sebagai mutiara Betawi adalah kelenturan Betawi dalam menerima pluralisme dan multikulturisme. Setiap orang harus mampu bersikap terbuka terhadap keberagaman sambil senantiasa merawat budaya yang telah diwariskan.

Jika kebudayaan diartikan juga sebagai perilaku kehidupan, Abdul Chaer melihat banyak laku arif yang sekarang kian luntur. “Seingat saya waktu kecil nasihat orang tua saya kalau ada paku di tengah jalan, angkat, jangan sampai kena orang, apalagi beling. Kok sekarang orang Jakarta nyebarin paku di jalan?” Ujaran tersebut membawa kita pada perenungan yang lebih dalam, tentang kepedulian serta kemauan untuk hidup harmonis dalam masyarakat.

Refleksi tentang eksistensi budaya Betawi yang digelar beberapa waktu lalu menjadi cermin bagi kita semua tentang keberagaman. lebih dari sekedar memperdebatkan dari mana kita berasal, yang lebih penting adalah bagaimana bersikap saling menghargai sembari tetap memberikan ruang bagi warisan budaya untuk terus tumbuh di tengah masyarakat.

Sumber: Kompas, 21 November 2013