Menjadi Betawi yang Kaga Lupa Asal
Nih kenalin, aye si fulan asli Betawi
Menjadi Betawi, ini yang belakangan menyesaki pikiran saya. Sebagai pemuda asli keturunan Betawi, murni kalo diibaratin bensin, tentu hal semacam itu tidak perlu dipertanyakan. Namun, ternyata masalah identitas ini justru membuat saya jadi hobi melamun. Merenungi diri dan kedirian saya sendiri. Mempertanyakan jati diri yang selayaknya saya sandang dengan bangga.
Mungkin bukan hanya saya yang mengalami ini. Namun, bisa jadi banyak pemuda Betawi yang juga mengalami hal yang serupa dengan saya. Wajar saja, sebab saya dan juga pemuda-pemuda Betawi lainnya lahir di zaman yang sangat modern, atau kalau kata beberapa orang zaman postmo. Ah, terserahlah mau disebut apa zaman sekarang ini. Satu hal yang pasti di zaman sekarang ini pertentangan atau pertikaian budaya cukup nyata terlihat di kalangan anak muda kita. Di satu sisi mereka tergoda bahkan terpengaruh dengan budaya luar yang datang ke negeri ini, baik melalui media televisi maupun internet dan lain-lain. Namun, di sisi lain, sadar atau tidak sadar mereka tetaplah manusia yang dilahirkan di nusantara.
Bagaimanapun bagi kita yang keturunan Betawi, tetaplah anak Betawi yang masih mencium tangan emak dan babe sebelum berangkat sekolah. Akan tetapi, seneng sama musik rock ketimbang gambang kromong, suka pakai celana jean,s dengan jaket levi’s ketimbang celana batik dengan baju koko, dan masih banyak lagi pertentangan lainnya.
Memang budaya bukan suatu yang stabil. Budaya adalah suatu hal yang dinamis. Berkembang mengikuti zaman. Kalau mau dianalogiin, Engga selamanya kuda makan rumput, toh sekarang kuda udah minum bensin. Jadi, kaga mungkin kan kita tetap kaku mempertahankan suatu nilai budaya tanpa berbenturan dengan nilai budaya baru yang masuk ke kehidupan kita. Nah, di sinilah generasi muda kita mengalami pertentangan itu. Benturan nilai lokal yang mereka dapat dari orang tua dengan nilai modern dan global yang mereka dapat dari pengetahuan dan teknologi informasi membuat mereka hidup sebagai ‘gelandangan’ budaya.
Loh, kenapa gelandangan? Mungkin analogi saya salah. Namun, menurut saya ‘gelandangan’ ini tepat untuk menggambarkan situasi anak muda kita saat ini, khususnya pemuda Betawi. Gimana saya tidak mengistilahkannya dengan gelandangan. Banyak dari kita sangat bangga dengan budaya negara lain, bahkan memuja seakan kita pemilik yang sah budaya tersebut. Sementara dengan budaya sendiri kita acuh, bahkan ogah alias tidak mau melestarikannya. Lihat saja di mal-mal bagaimana abg-abg kita berdandan layaknya artis-artis Korea. Juga banyak festival budaya asing, semisal Jepang, ramai dikunjungi anak-anak muda yang bahkan berkostum seperti tokoh kartun Jepang. Sementara, tanjidor susah mencari pemain muda dan orang-orang tua pemain tanjidor mulai mendekati kubur.
Kemudian, apakah dengan bergaya artis Korea kita menjadi seperti orang Korea, atau dengan mengerti budaya Jepang kita menjadi orang Jepang. Toh tetap tidak. Kenyataannya, kita tetap disapa mas, bang, mba, atau kak ketika di angkot, jalan, atau warung, bukannya panggilan Jepang atau Korea. Ya, kita hanya lupa karena euforia modernisasi informasi yang berlebih. Lupa kalau tidak salju di negeri ini. Lupa jika kota kita ini masih sering banjir tiap tahunnya. Lupa kalau mata kita belo dan kulit kita lebih gelap dari mereka. Lupa kalau setiap subuh dibangunkan emak untuk shalat.
Sekarang kembali pada diri kita. Di sini saya tidak ingin menghalangi untuk mempelajari budaya negara lain. Namun, alangkah baiknya kita tidak lupa dengan kulit kita. Jadi, menjadi Betawi saat ini, boleh saja berpakaian levi’s tetapi tetap cium tangan dan memberi salam pada orang yang lebih tua. Artinya, kita tidak lupa asal. Tabik…
Perintis 2, 25 Maret 2014
DhanKoe