Hitam Putih Afdruk Foto
“3×4 berapa, Bang?” Tanya seorang kawan.
“12 lah. Masa pertanyaan gitu aja gue ga bisa.” Jawab saya.
“Salah Bang. Yang bener dua ribu,” katanya lagi….
“Lah kok?”
“Kalo Abang nggak percaya tanya aja tukang afdruk poto….”
Mungkin bagi generasi smartphone sekarang ini, guyon semacam di atas akan terdengar aneh dan membingungkan. Namun sebaliknya, di era 90-an jokes matematika ala tukang cuci cetak foto tersebut cukup terkenal di kalangan anak muda ketika itu. Pertanyaannya, kemanakah tukang cuci cetak foto alias afdruk dari jalanan Jakarta.
Ketika masih kecil, saya suka mencetak foto hitam putih di tukang cuci cetak foto. Biasanya untuk keperluan surat-surat seperti rapor, ijazah, dan lain-lain. Nah, tukang afdruk langganan saya itu ada di Jalan Setiabudi. Sekarang ini tepat di depan Apartemen Setiabudi. Dulu sih belum ada itu apartemen. Bapak dengan brewok, tukang afdruk itu memang tidak banyak bicara, tetapi saya tetap senang mencetak foto di sana karena cepat dan murah. Selain itu, lokasinya yang dinaungi pohon lebat dan banyaknya orang yang lalu-lalang membuat saya senang menunggu foto saya dicetaknya.
Biasanya afdruk foto ini berada di pinggir jalan dekat dengan pasar, pertokoan, perempatan, atau jalan-jalan yang ramai oleh orang-orang yang melintas. Tukang cuci cetak foto pinggir jalan ini, biasanya memiliki gerobak sebagai tempat untuk memproses cuci cetak foto. Di dalam gerobak itulah terdapat kamar gelap sebagai tempat mencetak foto dengan segala perlengkapannya. Untuk pencahayaan dalam proses cetak fotonya, biasanya tukang afdruk memakai lampu petromaks. Proses cetaknya juga tidak terlalu lama. Biasanya sekitar setengah sampai satu jam saja sudah selesai. Nah, yang paling menarik biasanya selalu ada daftar harga dengan ukuran fotonya, seperti 2×3 = Rp 1.000,- per lembar, 3×4= Rp 2.000,- per lembar dan lain-lain. Daftar harga berdasarkan ukuran foto inilah yang sering dijadikan guyonan remaja masa itu.
Sekarang, jangan coba-coba deh cari ini tukang afdruk. Cari gerobaknya saja sudah susah, apalagi tukangnya. Zaman memang sudah berubah. Kita sudah terbiasa dengan yang serba digital. Termasuk kegiatan memoto alias memotret. Biasanya kalau tidak dengan kamera digital ya pakai handphone yang sudah ada fasilitas kameranya. Bahkan telepon genggam sekarang kameranya sudah mencapai 13 megapiksel. Keren kan tuh. Terus untuk mencetaknya pun tidak perlu lagi ribet-ribet di kamar gelap dengan bahan-bahan kimia dan pencahayaan yang khusus. Cukup ke studio foto atau dengan komputer dan printer biasa kita sudah bisa mencetak foto kita. Maka, menghilanglah peran tukang cuci cetak foto di kehidupan kita. Tergantikan alat-alat canggih masa kini.
Oh iya, bapak tukang cuci cetak foto langganan saya ketika kecil dulu itu memang masih ada. Bahkan masih di tempat yang sama ketika dulu saya mencetak foto, tepat di depan apartemen Setiabudi. Bedanya, jika dulu dia mengerjakan cetak foto hitam putih dengan kamar gelap di gerobaknya itu, sekarang dia melayani pembeli yang ingin membeli rokok atau air mineral di gerobak kaki limanya. Ah, demikianlah hidup, perputarannya tidak pernah terkira.
Bagi saya yang pernah merasakan romansa 90-an tentu tukang cuci cetak foto ini merupakan bagian dari kenangan masa kecil saya. Bahwa sekarang sudah tidak saya dapati lagi itu tukang afdruk lain cerita. Sebab hidup adalah perjalanan datang dan pergi yang selalu berputar. Oleh karena itu, hargailah setiap bentuk kehidupan yang pernah hadir di sekitar kita. Tabik….(DK).